Ditengah perkembangan zaman, mempertahankan budaya asli bukanlah sesuatu yang gampang dilakukan.
Hal tersebut tampak pada sejumlah daerah yang memiliki budaya dan adat istiadat yang terancam keberadaannya.

Yang tersisa mungkin hanyalah para tetua adat yang berjuang mempertahankan dan mewariskan ke garis keturunannya.
Namun, di Yanggandur, Distrik Sota, Merauke, Papua Selatan ada kelompok bernama Yakinto, sebuah kelompok dengan nama lokal yang saya temui ketika melakukan gerakan Menoken.
Yakinto sendiri sebuah kelompok yang belum lama terbentuk di Kampung Yanggandur. Isinya merupakan para pemuda yang masih peduli akan pelestarian budaya dan adat istiadat di kampung mereka yang berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini.
Suatu sore, di halaman belakang rumah Franky, proses Menoken dilakukan bersama Papua Paradiese Centre.
Franky menceritakan kisah kelompok Yakinto yang hanya beraktivits tidak lama sejak didirikan hingga vakum hingga saat pertemuan tersebut.
Menurutnya, meski saat ini vakum namun setidaknya sejak dibentuk mereka telah menghasilkan sejumlah produk budaya suku Kanum.
Sebut saja, Tifa dan ukirannya,kalung serta aksesors kepala berupa mahkota yng didominasi oleh bulu kasuari.
Bahkan kerajinan mereka telah dipajang dan dipamerkan tak hanya di Merauke, juga di Makassar dan Jakarta.
Bagi Franky dan komunitasnya, tak banyak yang diharapkan dari aktivitas yang mereka lakukan selain tetap konsisten merawat kebudayaan khas suku Kanum agar budaya dan adat mereka tak hilang ditelan zaman,
Jika berharap keuntungan materi dari apa yang telah mereka kerjaka sudah pasti saat ini kelompok ini hanya tinggal nama.
Franky berharap dengan dukungan pemerintah, upaya-upaya pelestarian budaya dan adat di Merauke akan lebih mudah dilakukan, terlebih sejumlah pihak juga mendukung kerja- kerja yang mereka lakukan, sebut saja Papua Paradise Centre.