Lensa Merauke – Kopi Muting. Satu jenis kopi robusta yang secara perlahan merangkak ke permukaan dunia kopi.
Sesuai asalnya , kopi ini dilabeli sesuai dengan lokasi tempatnya tumbuh di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Dari Ibu Kota Kabupaten Merauke menuju Distrik Muting berjarak sekitar 229 kilometer, jaraknya cukup jauh untuk sebuah wilayah yang dinaungi oleh sebuah Kabupaten.
Nama Kopi Muting tidak dikenal begitu saja, jalan panjang yang dilalui hingga saat ini Kopi yang pertama kali disinari matahari di Indonesia ini menjadi satu diantara produk yang paling dicari untuk dijadikan oleh-oleh dari Merauke.
Kisah Kopi Muting : Cerita dari Petani
Sebelum mendengar kisah petani, cerita sukses Kopi Muting kembali bersaing di pasaran kopi di Merauke sudah sering didengarkan dari satu sosok yang awal mengangkat kembali nama Kopi Muting.
Seorang anggota Polri berpangkat Aipda yang kala itu ditugaskan sebagai Bhabinkamtibmas di Distrik Muting awal mula mengenal Kopi dataran rendah ini.
Jasman Tristanto, seorang polisi yang juga mengembangkan usaha kedai kopi berjodoh dengan kopi muting yang saat itu Indonesia tengah dilanda wabah mematikan Covid-19.
“ kopi muting ini mulai dikenal lagi saat seorang anggota polisi datang dan mulai membeli kopi Muting,” terang Mudiono lewat sambungan telepon seluler.
Mudiono adalah seorang staf pemerintahan kampung Seed Agung di Distrik Muting. Saya memanggilnya dengan sapaan Mas Mudi saja, meski tak menanyakan siapa nama sapaan akrabnya.
Percakapan dengan Mas Mudi dimulai lewat Gerakan Menoken, sebuah wadah saling berbagi yang dikenalkan oleh sebuah Lembaga non pemerintahan Samdhana Institute yang merekrut sejumlah aktivis didalam sebuah wadah yang diberi nama Menoken.
Lewat panggilan telepon sekitar 29 menit 39 detik, saya meminta Mas Mudi bercerita soal Kopi Muting dari awal hingga saat ini.
Sebenarnya, Informasi soal Kopi Muting ini sudah beberapa kali kami dengarkan dari Aipda Jasman. Namun kali ini rasanya menarik jika dapat mendengar langsung dari pelaku paling dekat dengan Kopi Muting.
Rabu Malam, sekitar pukul 19.30 di teras rumah sewa saya mengirimkan pesan kepada Mas Mudi meminta kesediaan waktunya sebelum cerita ini kami lanjutkan lewat percakapan telepon selular.
Setelah sedikit perkenalan, mas Mudi bercerita awal mula kopi muting mulai ditanam warga yang saat itu merupakan warga transmigrasi sekitar tahun 1999-2000an.
“Kopi Muting itu awalnya kita tanam sejak baru pertama kali datang ke Muting sekitar tahun 1999,” Mas Mudi mengawali ceritanya.
Kopi yang ditanam menurutnya ada yang merupakan swadaya petani, juga ada yang dibantu oleh pemerintah saat itu. Namun seiring waktu Kopi muting mulai ditinggalkan karena tidak mendapat pasar yang layak ditambah masuknya satu Perusahaan sawit ke wilayah Muting membuat warga ramai yang mendaftarkan diri dan bekerja di perusahaan.
Bahkan, sejumlah warga menebang pohon kopinya untuk dikonversi dengan tanaman lainnya.
“banyak warga yang mengabaikan tanaman kopinya dan bekerja di perusahaan karena secara pendapatan nilai uang yang akan diterima setiap bulan lebih pasti,” ujar Mas Mudi.
Sejumlah pohon yang tersisa di kalangan petani yang jumlahnya tidak mencapai seribuan pohon tetap dipertahankan untuk dikonsumsi sehari hari hingga Kopi Muting dicicipi oleh Aipda Jasman.
Kembali sejenak ke cerita Aipada Jasman. Sejak mencicipi Kopi yang disuguhkan petani Muting. dirinya tertarik untuk mengembangkankan kopi Muting. Usaha pertama yang dilakukan Aipda Jasman dengan membeli Kopi Warga untuk diolah lebih lanjut.
Sebelum dibeli oleh Aipda Jasman dengan harga saat ini sudah mencapai 35 ribu rupiah per kilogram, awalnya kopinya Muting hanya dipasarkan 5 ribu rupiah saja per kilogram.
“harga yang dibeli pak jasman lebih tinggi dari biasanya, dan ini membuat petani lebih bergairah untuk kembali merawa kopi,” jelas Mas Mudi.
Gairah petani terus bertambah seiring diajaknya Kepala kampung Seed Agung mewakili petani kopi dalam sebuah ajang dan pameran kopi di Jakarta.
Ditambah sejumlah bantuan pengolahan kopi diberikan oleh pemerintah kabupaten dan Provinsi.
Sejumlah perhatian yang diberikan ini membuat petani termotivasi untuk mengembangkan kopi muting.
Dukungan Pemerintah Kampung
Tak berharap dukungan dari pemerintah Tingkat atas saja, Pemerintah Kampung Seed Agung lewat musyawarah bersama warga dan petani sepakat menggelontorkan sebagian dana kampung untuk pengembangan Kopi Muting.
“Akhirnya kami masyarakat Kampung Seed Agung sepakat untuk menggunakan Dana Desa untuk penanaman kopi secara serentak dengan cara pengadaan bibit tanaman kopi dan dibagikan ke semua warga untuk di tanam sehingga produksi Kopi Seed Agung kedepan akan meningkat yang mana selama ini kami hanya mengandalkan produksi kopi dari pohon tanaman yang lama,” tambah Mas Mudi.
Upaya pengembangan Kopi terus dilakukan oleh Pemerintah kampung karena saat ini produksi kopi kampung Seed Agung hanya mengandalkan tanaman kopi lama.
Pembagian bibit kopi untuk ditanam warga terus dilakukan untuk percepatan produksi kopi yang merata di kalangan petani. Terlebih menurut petani saat ini permintaan kopi yang masuk ke petani tak mampu dipenuhi karena masih terbatasnya jumlah pohon yang sudah berproduksi.
Dukungan Pihak Luar
Menurut Mudiono, seiring waktu jumlah dukungan juga berdatangan dari pihak non pemerintah.
Sebut saja mahasiswa, Aipda Jasman sudah tentu dan Lembaga Lembaga swasta juga memberikan perhatian terhadap kopi muting
Samdhana Institute, lewat gerakan menoken juga memberikan perhatian terhadap pengembangan Kopi muting. Meski dukungan yang diberikan bukan bersifat materil.
Namun upaya berbagi pengalaman pengolahan kopi muting juga dilakukan oleh gerakan menoken saat berkunjung ke seed agung.
“ketika itu kami dipertemukan dengan petani dari bogor, kami diajari teknik membuat pupuk kompos untuk tanaman kopi kami,” lanjut Mudi.
Menurut petani hal tersebut hal tersebut merupakan pengalaman baru yang didapatkan karena berbeda dengan cara mereka membuat pupuk kompos untuk tanaman mereka.
Harapan Petani
“Kedepanya mudah-mudahan kopi di Muting ini bisa berkembang terus setidaknya kopi dihargai lebih baik,” ucapan mas Mudi menjawab pertanyaan terakhir dari saya.
Petani Muting berharap upaya yang mereka lakukan hingga saat ini setidaknya mampu mempertahankan harga kopi, Syukur-syukur jika harga jualnya terus dihargai lebih tinggi meski hasil kopi melimpah.
Petani bersama pemerintah Kampung Seed Agung juga terus berupaya untuk pengembangan produk kopi agar mendapat nilai jual lebih.